Bahaya Quiet Quitting Untuk Perkembangan Karirmu
Salah satu hal umum yang sering kita temukan saat membaca syarat dari sebuah pekerjaan adalah, “mampu bekerja di bawah tekanan” atau “mampu bekerja sebagai tim atau individu.” Syarat pertama tersebut sering kali menjadi momok bagi sebagian pelamar kerja karena mereka tidak tahu tekanan seperti apa yang akan dihadapi. Padahal, syarat itu sebenarnya untuk menilai kualitas individu pelamar apakah memiliki mental yang kuat dan mampu fokus dalam proses bekerja saat menghadapi halangan atau tantangan.
Menurut Tim Beliveinc, bekerja di bawah tekanan merupakan sebuah tantangan, bukan ancaman dalam bekerja. Karena kemampuan kita menghadapi atasan, rekan kerja, dan kondisi lapangan akan membantu mendewasakan pola pikir kita dan mengadaptasi cara kerja yang lebih efektif dan efisien.
Belakangan ini ada istilah baru yang sedang ramai diperbincangkan, yaitu Quiet Quitting. Fenomena ini terbilang menghebohkan karena banyak para pakar dan profesional yang berpendapat pro-kontra. Padahal sebenarnya Quiet Quitting sudah ada sejak lama, tapi baru sekarang menjadi perbincangan umum.
TOPIC:
Apa Itu Quiet Quitting?
Jika dibaca sekilas banyak orang salah mendefinisikan Quiet Quitting sebagai keluar kantor atau resign secara sembunyi-sembunyi. Padahal Quiet Quitting adalah bentuk protes atau penolakan seseorang terhadap budaya kerja perusahaan.
Menurut Los Angeles Times, istilah “Quiet Quitting” pertama kali digunakan oleh Bryan Creely, seorang HRD dan Career Coach yang berbasis di Nashville, dalam video yang diunggah pada 4 Maret 2022 ke akun TikTok dan YouTube.
TechTarget menyebutkan bahwa Quiet Quitting adalah perilaku individu atau karyawan yang membatasi tugas mereka pada tugas-tugas yang tertulis di dalam jobdesc (deskripsi pekerjaan) mereka untuk menghindari jam kerja yang lebih panjang.
Individu ini tetap menyelesaikan pekerjaan, hanya saja melakukannya secara seminimal mungkin untuk mendapatkan work life balance. Sederhananya mereka hanya melakukan tugas yang sesuai jam kerja, ketika mereka pulang, mereka meninggalkan pekerjaannya dan fokus pada aktivitas di luar pekerjaan.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Salah satu penyebabnya adalah kekecewaan terhadap perusahaan yang membuat mereka tidak bahagia saat bekerja. Entah karena gaji yang dianggap tidak sesuai, atasan yang menyebalkan, pekerjaan yang terlalu banyak, atau lingkungan kerja yang kurang mendukung perkembangan diri. Quit Quitting juga bisa menjadi bentuk protes karyawan atas budaya kerja atau stress yang mereka hadapi.
Penting bagi para manajer dan HRD perusahaan untuk mencari solusi dari permasalahan ini supaya karyawan tetap bahagia dan produktif.
Tanda-Tanda Quiet Quitting
Misalkan di perusahaan Anda ada sekelompok karyawan yang terindikasi melakukan Quiet Quitting, jangan langsung menyalahkan mereka dari satu pihak. Tapi coba pelajari lebih dulu apa penyebabnya, tanyakan kepada diri Anda, “Apakah hal ini terjadi karena banyaknya pekerjaan, stress kerja atau karena gaya dan kemampuan seorang manager dalam memimpin tim?”
Tanda-tanda Quiet Quitting dapat muncul dalam berbagai bentuk, tergantung pada alasan karyawan melakukannya. Jika seorang karyawan melakukan Quiet Quitting karena merasa tidak bahagia dengan pekerjaannya, tanda-tandanya cenderung lebih mudah dilihat. Contoh: mereka menghabiskan lebih banyak waktu membahas hal diluar pekerjaan atau menjelekkan rekan kerja, manager dan perusahaan.
Tapi ada juga orang yang melakukan Quiet Quitting karena ingin menjaga keseimbangan antara kehidupan kerja dengan kehidupan pribadinya, mereka akan lebih mendahulukan kepentingan diri dan keluarganya daripa kantornya. Misal, sering ijin meeting sambil di jalan menjemput anak sekolah di jam kerja.
Berikut ini beberapa tanda Quiet Quitting:
- Tidak menghadiri atau sering terlambat meeting.
- Sering datang terlambat atau ijin WFH pada jadwal mereka WFO.
- Produktivitas kerja menurun.
- Kontribusi dalam sebuah proyek lebih sedikit.
- Tidak berpartisipasi dalam memberikan ide.
- Kurangnya gairah atau antusiasme saat bekerja.
Cara Menghadapi Quiet Quitting
Cara untuk menghadapi Quiet Quitting adalah dengan meningkatkan kepuasan karyawan dan mengetahui alasan mereka sebenarnya.
- Bicaralah secara personal dengan karyawan. Dengarkan semua keluhan mereka dan diskusikan apa hal yang bisa dilakukan untuk membuat mereka merasa dihargai dan lebih bahagia. Berikan motivasi dan lakukan obrolan dari hati ke hati daripada obrolan serius dengan tujuan memberi hukuman.
- Pastikan beban kerja realistis. Beri batasan beban kerja kepada karyawan untuk menjaga keseimbangan kehidupan kerja. Hindari kontak di luar jam kerja kecuali memang benar-benar penting. Pastikan juga karyawan memiliki komitmen dan kesepakatan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu supaya tidak diganggu di luar jam kerja.
- Bantu karyawan mengelola stres. Kesehatan mental haruslah menjadi prioritas utama. Perusahaan melalui manajer harus mampu memahami setiap individu karyawan untuk memastikan kesehatan fisik dan mental mereka terjaga. Ingatkan karyawan untuk mengambil cuti dan jangan mempersulit ketika karyawan ingin mengambil cuti selama hak dan kewajiban terselesaikan.
- Bicarakan tentang rencana karir. Perencanaan karir seringkali tidak menjadi prioritas, hal ini membuat karyawan terkadang sulit untuk mengembangkan karir dan mendapatkan jabatan yang lebih baik. Ketahui aspirasi karyawan dalam karirnya, seperti apa rencana mereka dan temukan cara untuk membantu mereka mencapai tujuan akhir mereka dengan tugas yang jelas dan dapat ditindaklanjuti.
Perlu diingat bahwa Quiet Quitting adalah sebuah respons karyawan akibat terlalu banyak bekerja dan keseimbangan kehidupan kerja yang terabaikan oleh manajer ataupun perusahaan. Dalam kasus lain, mungkin karyawan melakukan Quiet Quitting untuk mendapatkan perhatian dari perusahaan agar bisa memfasilitasi aspirasi mereka untuk mendapatkan kebahagian dan kepuasan kerja.