Fenomena #KaburAjaDulu: Cerminan Kekecewaan Anak Muda terhadap Masa Depan di Indonesia

Fenomena #KaburAjaDulu: Cerminan Kekecewaan Anak Muda terhadap Masa Depan di Indonesia

Tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya di platform X (sebelumnya Twitter), sejak Februari 2025. Tagar ini merupakan bentuk ekspresi kekhawatiran dan frustrasi anak muda Indonesia terhadap kondisi pendidikan, lapangan kerja, serta kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Banyak warganet yang menggunakan tagar ini sebagai seruan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, baik dalam hal pendidikan maupun pekerjaan.

Latar Belakang Munculnya #KaburAjaDulu

Dari yang saya amati, tagar #kaburajadulu adalah suatu bentuk kekhawatiran warganet (terutama anak muda) tentang masa depannya di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Kekhawatiran ini ditambah dengan  Peringatan Darurat yang dibagikan melalui Instagram Story, semakin menegaskan keresahan masyarakat. Beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan menjadi pemicu utama kekecewaan ini, di antaranya:

  1. Pemangkasan dana pendidikan dan kesehatan yang semakin menyulitkan akses terhadap layanan dasar.
  2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang menimpa banyak orang tua, sehingga menimbulkan ketidakpastian ekonomi.
  3. Eksploitasi sumber daya alam dengan pembabatan hutan demi proyek-proyek yang akhirnya mangkrak.
  4. Kebijakan perpajakan yang sering berubah-ubah, seperti sistem Coretax yang dinilai tidak efektif dan hanya memboroskan anggaran negara.
  5. Keberadaan staf khusus yang problematik, namun tetap digaji menggunakan uang rakyat.
  6. Kembalinya dwifungsi TNI yang dinilai sebagai kemunduran demokrasi.
  7. Minimnya perhatian terhadap layanan bagi korban kekerasan, yang membuat banyak kasus tidak terselesaikan dengan baik.
  8. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat tanpa solusi konkret.

Berbagai kebijakan ini menyebabkan rasa tidak percaya warganet terhadap pemerintah semakin besar. Mereka merasa bahwa masa depan di Indonesia semakin tidak menentu dan memilih opsi “kabur” ke luar negeri sebagai solusi.

Ironi Pindah ke Luar Negeri

Meskipun banyak yang beranggapan bahwa hidup di luar negeri lebih baik, pada kenyataannya, pindah ke negara lain tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, seperti:

  • Proses perizinan dan administrasi yang kompleks.
  • Persaingan ketat di dunia pendidikan dan pekerjaan.
  • Kebutuhan kompetensi yang tinggi untuk bisa bersaing dan bertahan di luar negeri.

Hal ini menunjukkan bahwa sekadar ingin “kabur” bukanlah solusi instan untuk mengatasi masalah yang ada. Justru, fenomena ini menjadi cerminan kegagalan berbagai pihak dalam menciptakan lingkungan yang mendukung anak muda untuk berkembang di negeri sendiri.

Pentingnya Reformasi dalam Pendidikan dan Dunia Kerja

Dunia pendidikan yang gagal mencetak generasi unggul serta dunia kerja yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak menjadi dua aspek yang harus segera diperbaiki. Terdapat beberapa langkah yang perlu diambil untuk mengatasi krisis ini:

  1. Peningkatan Kualitas Pendidikan: Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan industri agar lulusan memiliki kompetensi yang relevan dengan dunia kerja.
  2. Fasilitasi Lapangan Kerja yang Memadai: Pemerintah perlu mendorong investasi dan kebijakan ekonomi yang mendukung terciptanya lapangan kerja yang layak.
  3. Kolaborasi antara Sektor Pendidikan dan Industri: Dunia pendidikan harus menjalin kerja sama dengan perusahaan agar lulusan lebih siap kerja.
  4. Mentalitas Calon Tenaga Kerja: Selain faktor eksternal, calon tenaga kerja juga harus memiliki kesiapan mental dan kemampuan adaptasi yang tinggi agar dapat mengeluarkan potensi terbaiknya.

Kesimpulan

Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari keresahan warganet terhadap masa depan mereka di Indonesia. Alih-alih menyalahkan mereka yang ingin pergi ke luar negeri, pemerintah dan pemangku kepentingan seharusnya berbenah dan menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi generasi muda. Dengan perbaikan di sektor pendidikan, kebijakan ekonomi, serta dunia kerja, diharapkan fenomena seperti ini tidak lagi menjadi pilihan utama bagi anak muda Indonesia yang ingin meraih kehidupan lebih baik.

 

Haruskah Takut Dengan Resesi?

Haruskah Takut Dengan Resesi?

Dunia (Startup) sedang tidak baik-baik saja! 

Sejak pandemi COVID-19 merebak. Memang nampaknya dunia sedang tidak baik-baik saja! Atau dunia bisnis sedang tidak baik-baik saja. Alih-alih perbaikan ekonomi dan tagline INDONESIA BANGKIT, ada kesenjangan antara revenue dan omzet di berbagai perusahaan. Hal ini tentu menyebabkan diharuskan adanya efisiensi baik itu perusahaan lokal ataupun global.

Mungkin sekarang sudah bukan zamannya lagi menggunakan istilah STARTUP, tapi waktunya untuk menggunakan istilah GROWTH COMPANY. Perusahaan yang biasanya bakar-bakar duit, sekarang harus berjuang bagaimana caranya untuk bisa meraih profit. Kepulan asap-asap awareness, residu user acquisition, dan debu-debu data driven marketing sekarang menjadi karbon dioksida bagi bisnis yang belum siap menghadapi pembatasan emisi profit.

Sebelum pandemi, semua baik-baik saja sampai pada akhirnya pembatasan-pembatasan membuat transaksi semakin sedikit, pengguna semakin irit, dan persaingan semakin rumit. Kita semua belum selesai beradaptasi dengan apa yang dulu digadang-gadang sebagai NEW NORMAL. New normal saat ini bukanlah Work From Home ataupun Hybrid Working, tapi kebiasaan baru itu adalah efisiensi.

Entah berapa ribu orang saat ini kehilangan pekerjaan, jika tidak boleh disebut pengangguran, yang harus melanjutkan hidup di tengah persaingan sumber daya manusia yang ketat dan range gaji yang bersaing. 

Contohnya Zenius yang mungkin kurang Jenius beradaptasi. Ketika pandemi kebutuhan kelas tambahan secara online adalah pilihan. Tapi setelah sekolah melakukan pertemuan tatap muka, rasanya kita kembali kepada kebiasaan lama. Bagi sebagian orang tua yang masih WFH mungkin masih bisa mengantar anaknya ke sekolah, tapi buat yang sudah WFO akan sulit menjalankan ini. Aktivitas anak-anak sekolah sekarang pun sudah seharian di kelas, rasanya sudah tidak ada lagi waktu untuk kelas tambahan. 

Belum lagi saat ini aturan menteri masuk sekolah bukan dilihat dari prestasi, tapi dari jarak rumah ke sekolah. Sudah tidak ada lagi sekolah favorit, sudah tidak kita dengar lagi prestasi anak-anak secara akademik (meskipun banyak juara-juara olimpiade), semua berdasarkan jarak. Setiap kebijakan tentunya diharapkan memang betul-betul bijak, mencari jalan tengah efisiensi dengan pesangon sebagai hadiah dan sisa asuransi sebagai nilai tambah.

Tahu program KAMPUS MERDEKA atau program KARTU PRAKERJA? Semua bertujuan meningkatkan kemampuan untuk berkarir di dunia kerja, sementara ekonomi sedang ambruk dengan gelombang efisiensi yang tak karuan. Harusnya generasi fresh graduate lebih disiapkan untuk menjadi pencipta lapangan pekerjaan, setidaknya bagi dirinya sendiri, karena perusahaan impian mereka saat ini (mungkin) sedang melakukan eksekusi massal atas nama efisiensi. 

Seperti disebutkan oleh KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA, “Kontribusi UMKM tercatat mencapai kisaran 61% terhadap PDB nasional dan menyerap 97% dari total tenaga kerja. Di setiap periode krisis, UMKM bahkan menjadi buffer, bersifat resilien, dan bisa pulih dengan baik.” Masyarakat penggerak UMKM lebih banyak menciptakan lapangan pekerjaan meskipun pendapatan bulanannya tidak sebesar dan seseksi bekerja di startup. 

Justru UMKM lah yang membuat kita merdeka! Lepas dari aturan-aturan perusahaan, omnibus law, dan UU Cipta kerja. Tidak ada solusi dalam artikel ini, karena sayapun korban dari efisiensi. Semoga semua segera baik-baik saja dan kita menemukan ruang tenang untuk berkarya dan mendapatkan penghasilan yang benar-benar merdeka.